Tanah Resapan Air
"Jakarta as the fastest sinking city" itu sudah sering disebut-sebut dan menjadi tema berita di banyak media internasional. Saya sebagai warga Jakarta sejak 1999 merasa isu ini tidak terlalu valid untuk dikatakan. Sejak tahun 90-an, Jakarta memang sudah sering mengalami banjir, tapi toh rasa-rasanya tidak tenggelam. Lihat aja sekarang, justru dengan reklamasi, luasan Jakarta malah bertambah lagi.
Di hari pertama tahun 2020, isu ini sepertinya kembali relevan. Banjir yang menghantam Jakarta membuat semua orang berteriak-teriak tidak karuan. Bahkan bukan tidak mungkin hal ini kembali membawa isu panas politis dan agama yang seharusnya sudah reda. Normalisasi dan Naturalisasi diperdebatkan melalui media massa. Air yang seharusnya dimasukkan ke tanah menjadi olok-olok sebagai cerita tanding dari air yang dialirkan ke laut melalui gorong-gorong raksasa.
Sebenarnya jika kita kembali ke alam, maka memang ada benarnya, secara alami air itu seharusnya diserap oleh tanah untuk menjadi bagian dari lapisan di bagian bawah tanah. Tapi pengetahuan itu tidak lengkap jika hanya sampai disitu saja. Kalau kita memiliki sepetak tanah saja di halaman kita, coba kita siram dengan katakan satu meter kubik air, coba perhatikan, apakah airnya dengan mudah diserap tanah atau tidak?
Berikut ini beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam kondisi alami atas serapan air hujan yang melimpah:
- Luasan tanah;
- Tanah yang hidup;
- Struktur vegetasi;
- Pengalaman negara lain dalam tata-kota.
1. Luasan Tanah
Kota Jakarta yang semakin ditumbuhi subur dengan properti perumahan dan pusat perbelanjaan, jelas telah mengurangi luasan tanah untuk penyerapan air hujan. Setiap perumahan tentu sering disebut-sebut oleh para tetua setempat, bahwa lokasi itu dulu merupakan hutan seram tempat "jin membuang anak". Biasanya rentang waktu yang disebut ini adalah singkat, sekitar 15 tahun yang lalu. Hutan urban begitu mudahnya menjadi komplek perumahan. Pertanyaannya, apakah ada jumlah taman kota yang seimbang dengan pertumbuhan properti ini?
2. Alive soil, tanah yang hidup.
Ya, kita akan memicingkan mata mendengar hal ini. Tanah itu kan benda mati! Salah, pemikiran ini benar-benar salah Saudara. Jika kita melihat wilayah banjir, apakah ada tanah kosong disekitar situ? Coba perhatikan, apakah tanah kosong itu kering seakan-akan menyerap air yang melewatinya? Ternyata tidak. Apakah tanah itu menyerap namun kapasitas serapannya sudah penuh? Rasa-rasanya lapisan bawah tanah akan selalu mempunyai ruang untuk menyimpan air ini. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tanah kosong yang lumayan luas ini ternyata tidak dapat menyerap air atau daya serapan airnya sangat rendah? Ya karena itu tadi, tanahnya sudah mati.
Lah, kok bisa tanahnya mati? Didalam tanah yang hidup (alive soil), akan ada jutaan microbiota baik berupa bakteri tanah, fungus ataupun hewan-hewan kecil seperti cacing dan hewan kecil lainnya. Seluruh mahluk pada tanah ini bekerja sama untuk membentuk tanah yang hidup. Tanah yang hidup inilah yang ada pada lapisan tanah di hutan. Alive soil ini bekerja begitu efektif dalam menyerap air sehingga air dapat sampai kepada lapisannya dibawah tanah, dan alive soil ini pula sebagai indikator subur tidaknya tanah disitu. Trus, kenapa tanah bisa mati? Semprotan herbisida dan pestisida, jelas telah merusak habitat microbiom ini. Selain itu, tanah yang tidak terlindungi oleh pohon, akan lebih mudah matinya karena saat musim kering, tanah ini akan lebih cepat mati dan mengakibatkan kegersangan seperti di gurun.
3. Struktur Vegetasi.
Ternyata, menanam pohon pada tanah belum menjawab secara komprehensif permasalahan atas banjir ini. Karena menurut Sepp Holzer, ahli permakultur Jerman, hutan yang ditanami hanya oleh pinus, akan lebih mudah mengalami erosi atau longsor. Jadi, struktur akar pada hutan homogen, tidak mampu dalam menahan arus erosi tanah saat hujan turun. Hal ini disebabkan oleh jenis akar yang sama, mengakibatkan jaringan akar pada tanah tidak cukup kuat dalam menahan erosi. Para ahli permakultur pada umumnya sudah mengetahui bahwa jenis vegetasi dalam suatu lingkungan harus dibuat sedemikian rupa agar struktur tanah dapat kuat dan menahan erosi, ini sejalan dengan perlunya biodiversity dalam suatu ekosistem. Struktur vegetasi ini terdiri dari
4. Pengalaman negara lain dalam tata kota.
Singapura sebagai negara yang sangat kecil dan berbentuk pulau yang dikelilingi lautan, tentu memiliki perhatian khusus atas perihal banjir ini. Sebagai negara kecil, tentu Singapura memiliki kemudahan dalam melakukan pembenahan masif dan terstruktur. Singapura, meskipun memiliki luasan kota yang sedikit, tetap memilih memiliki luasan hutan yang cukup besar.
Comments
Post a Comment