World Wide Taxation vs Territorial Taxation

Secara teori, sering disebut-sebut bahwa Indonesia menganut world-wide tax system, sedangkan pada praktiknya, tidak ada satupun negara atau yurisdiksi yang menggunakan world-wide system ataupun territorial tax system yang murni. Misalkan di Indonesia, apakah pada praktiknya benar telah mengadministrasikan seluruh penghasilan warga negaranya? Atau kita lihat sistem perpajakan Amerika yang memungkinkan penundaan pemajakan atas penghasilan bisnis aktif hingga dilakukan repatriasi.

Setelah itu muncul pertanyaan, apakah sistem perpajakan yang di anut Indonesia saat ini merupakan sistem perpajakan yang optimal dari sisi penerimaan pajak? Menurut Eric M. Zolt, pemilihan sistem perpajakan sangat dipengaruhi oleh keefektifan relatif dari aturan earning stripping dan transfer pricing. Negara yang memiliki aturan TP dan earning stripping yang efektif akan lebih baik menggunakan posisi sistem perpajakan teritorial dan negara yang aturan TP dan stripping rule masih dalam pengembangan dapat memilih world-wide income dengan mengadopsi tarif pajak yang lebih rendah untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Saya sendiri agak tidak sependapat atas pernyataan Zolt yang kedua. Apa intensi memberikan tarif pajak yang lebih rendah terhadap penghasilan yang diperoleh dari LN? Kalau tarif lebih rendah, maka kemungkinan seluruh penghasilan yang bersumber dari LN tidak dapat dipajaki di Indonesia karena telah dipajaki di negara sumber dengan tarif yang rata-rata lebih tinggi. Konsep yang disampaikan oleh Zolt atas tarif pajak yang lebih rendah terhadap penghasilan yang bersumber dari luar negeri dipandang kurang berpijak pada suatu dasar yang seimbang.

Mungkin Zolt ingin menyampaikan bahwa Indonesia perlu melindungi MNEs Indonesia agar dapat lebih kompetitif di dunia global. Beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia perlu memikirkan kemungkinan perkembangan jangka panjang dari bisnis di Indonesia. Namun menurut pemilik blog, memang harapan bahwa di masa yang akan datang, akan semakin banyak warga negara Indonesia yang menumbuhkan perusahaan berbendera Indonesia di negara lain, namun justru yang perlu dilakukan adalah memberikan dorongan supaya MNEs Indonesia semakin bermunculan, bukan insentif kepada sesuatu yang belum terjadi dan justru akan dinikmati oleh pihak yang tidak seharusnya menikmati.

Selanjutnya, untuk aturan TP, jika kita menelisik lebih lanjut untuk CFC rules, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipelajari dari sistem perpajakan Amerika. Pada dasarnya, tujuan untuk dibuatnya aturan CFC adalah untuk menghindari penggerusan basis pemajakan domestik dengan Income Stripping Techniques untuk menggeser laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah. CFC rules di Amerika didesain untuk memastikan bahwa hanya active business income  yang memperoleh keuntungan deferral. Apakah CFC rules Indonesia akan mengadaptasi hal yang sama? Mari kita lihat pas tanggal maennya. Yang jelas, saat ini dimana CFC rules belum ada di Indonesia, sangat memungkinkan untuk dilakukannya deferral sampai perusahaan CFC membagikan dividennya.

Jadi kesimpulan penulis, Indonesia tidak perlu mengubah sistem pemajakannya menjadi territorial tax system,  namun Indonesia perlu memastikan bahwa SAAR yang diperlukan telah diberlakukan dan perencanaan penyusunan GAAR dapat dilakukan. SAAR dapat berupa TP rules, Thin Cap rules, , earning stripping rules, CFC rules atau foreign investment fund rules. Dengan adanya pengawasan perpajakan yang baik, maka world-wide income tax system dapat secara konsisten dan koheren diberlakukan.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Buku Acara: Ibadah Mengenang Satu Tahun Berpulang ke Surga

Berry Ratio dan penggunaannya

BEPS Inclusive Framework, the urgency for developing countries