Posisi P3B dalam Konstelasi Dispute Resolution

Sering sekali terjadi pertentangan antara apa yang telah diatur dalam peraturan perpajakan domestik dengan apa yang telah disepakati negara dalam P3B. Cilakanya lagi, sering terjadi pada praktik administrasi perpajakan, yang dipandang hanyalah aturan perpajakan domestik tanpa usaha menelisik ketentuan pada P3B yg ada dan yang aturan lain terkait.

Misalnya nih, pada kasus BUT EPC (engineering, procurement and construction), pemeriksa melakukan koreksi selisih tarif, dimana untuk penyedia jasa konstruksi yang memiliki sertifikat, dikenakan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) final 3% sedangkan yang tidak memiliki sertifikat, dalam hal ini BUT biasanya tidak diberikan sertifikat, dikenakan atas subjek yang sama sebesar 4%.

Pada MAP, resolusi dispute diajukan atas penyesuaian basis pemajakan atas procurement terkait business profit dan pasal diskriminasi pada P3B.

Nah, disini kita bisa lihat, ada perbedaan aturan atas subjek yang sama. Perbedaan dari aturan domestik perpajakan, aturan domestik dari kementerian pekerjaan umum dengan yang telah diperjanjikan pada P3B. Ketiga aspek ini akan dibahas dan didiskusikan oleh para CA untuk menyepakati solusi terbaik.

Sebagaimana hal ketentuan-ketentuan dalam suatu hukum domestik, ketentuan dalam perjanjian internasional juga tidak terlepas dari adanya keperluan untuk melakukan interpretasi. Interpretasi atas suatu ketentuan dalam perjanjian internasional dapat disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mengenai implikasi atas suatu ketentuan di antara dua negara pihak dalam perjanjian.

Kebutuhan untuk melakukan interpretasi juga dapat timbul dari adanya perbedaan pendapat di antara wajib pajak dengan otoritas perpajakan dan juga lembaga peradilan baik di negara domisilinya maupun di negara tempat aktivitas keekonomian berlangsung.

Pengadilan pada umumnya mempunyai wewenang untuk menginterpretasi ketentuan dalam perjanjian internasional termasuk P3B. 

Terkait dengan ketentuan hukum domestik, setiap negara pada umumnya mempunyai aturan interpretasi yang berbeda-beda dalam sistem hukum domestiknya. Namun, interpretasi atas suatu ketentuan dalam perjanjian internasional tidak mengikuti aturan interpretasi domestik suatu negara. Prinsip ini juga yang juga seharusnya diadopsi oleh otoritas perpajakan dan juga pengadilan untuk menghindari perbedaan interpretasi (konflik) dalam pengaplikasian sutau ketentuan dalam perjanjian internasional dengan kewajiban internasional yang mengikat negara sebagai pihak dalam perjanjian.

Prinsip-prinsip umum interpretasi perjanjian internasional tunduk aturan interpretasi yang terdapat pada Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT). Hanya saja, aturan interpretasi yang terdapat pada VCLT sangatlah umum sehingga tidak mengakomodir semua ketentuan-ketentuan pada P3B. Prinsip-prinsip umum interpretasi yang terdapat pada VCLT sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional (international customary law) secara umum mengikat semua negara termasuk negara yang tidak menandatanganinya. Australia, Malaysia, dan Vietnam misalnya, walaupun tidak menandatangani VCLT namun melalui aksesi mengakui dan tunduk pada VCLT.

Pasal-pasal VCLT di atas memberikan pedoman dalam penginterpretasian ketentuan perjanjian internasional. Jika teks dari perjanjian sudah mengatur hal dengan sangat jelas maka interpretasi yang menyimpang dari teks yang sudah jelas tersebut dapat diabaikan. Hal ini bermaksud memberikan penekanan bahwa arti sehari-hari atau umum atas suatu istilah (ordinary meaning of the terms) harusnya diberikan prioritas utama dalam suatu proses penginterpretasian. Selain teks perjanjian, hal lain juga penting dalam proses penginterpretasian adalah konsteks (context).

Jadi, pada dasarnya, sudah mengerti kan bagaimana posisi P3B dalam konstelasi dispute resolution? Jika kita melihat Pasal 32A UUPPh juga, maka bertambah jelaslah pemahaman kita bahwa perjanjian merupakan lex specialis.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Buku Acara: Ibadah Mengenang Satu Tahun Berpulang ke Surga

Berry Ratio dan penggunaannya

BEPS Inclusive Framework, the urgency for developing countries