BEPS, sebuah resolusi yang konsisten?

Sistem Internasional untuk pemajakan laba perusahaan multinasional saat ini sedang dihadapkan pada perhatian dan kritik dari berbagai pihak. Masalah yang timbul tentu langsung dari stakeholders berupa pemerintah, media dan masyarakat umum. MNC tentu memiliki concern untuk tetap bisa melakukan bisnisnya dengan memanfaatkan kekurangan dalam sistem perpajakan untuk mengurangi kewajiban perpajakan agregat-nya.

Karena pajak atas laba perusahaan setidaknya sebagian terbeban pada pemegang saham perusahaan, maka dalam ekonomi terbuka dengan portofolio investasi internasional, maka pada akhirnya individulah yang menanggung pajak perusahaan residen, dan individu yang menanggung pajak perusahaan itu dapat merupakan individu non-residen.

Satu sisi perdebatan menyatakan bahwa perusahaan yang memperoleh manfaat barang dan jasa publik ditempat dia beroperasi seharusnya memberikan kontribusi perpajakan ditempat itu, namun masih belum jelas kenapa kontribusi pemajakan tersebut harus didasarkan pada keuntungan perusahaan? Sebenarnya, alokasi hak pemajakan pada sistem pemajakan internasional lebih baik dilihat sebagai kompromi arbitrase antar negara yang berkepentingan, bukan tentang manfaat barang publik yang digunakan perusahaan. Mari kita lihat beberapa inkonsistensi resolusi yang muncul saat ini:

  1. Masalah atas sistem yang ada saat ini adalah sistem mengijinkan negara-negara untuk bersaing dengan negara lain walaupun dengan membuat sistem yang menjadi tidak stabil. Negara-negara bersaing untuk menarik aktivitas ekonomi dan memihak pada perusahaan domestik, dimana sepanjang tiga puluh tahun terakhir telah terus menurunkan tarif pajak efektifnya atas laba. Pemerintah koalisi UK dengan eksplisit telah menyampaikan tujuan untuk menciptakan rejim pajak korporasi kompetitif di G20 dengan mengurangi pajak perusahaan dari 28% menjadi 20% dan patent box tax rate 10%. Untuk yang belum pernah mendengarkan check-the-box rules, aturan ini memungkinkan MNC untuk mendirikan entitas yang diperlakukan berbeda antara jurisdiksinya dengan aturan di Amerika. Hal ini memungkinkan terjadinya double non taxation. Jika masing-masing negara memiliki insentif untuk enggan mengakui konsensus internasional, maka konsensus internasional tidak dapat menyediakan sistem yang baik secara ekuilibrium. Inisiatif OECD dalam BEPS pada dasarnya mengusahakan untuk menutup beberapa loopholes, namun tidak menguji struktur sistem secara fundamental untuk kepentingan semua negara.
  2. Konsep negara sumber dan negara residen, sedikit banyak telah mengalami pengikisan sepanjang waktu. Misalkan suatu MNC memiliki pemegang saham dari seluruh dunia. Perusahaan induk merupakan residen dari suatu negara, beberapa perusahaan afiliasi melakukan berbagai macam aktivitas seperti R&D, produksi, pemasaran, pembiayaan yang berlokasi di beberapa negara yang berbeda. Dalam skenario ini,  sulit untuk menentukan dasar konsep identifikasi dimana laba dihasilkan. Konsep negara sumber dan residen tidak cocok untuk perdagangan antar group. Misalkan, dua anak perusahaan dalam satu holding company melakukan transaksi, S1 dan S2, merupakan residen di negara A dan negara B. Sistem akan meminta satu negara diperlakukan sebagai negara sumber dan yang lain jadi negara residen. Jika S1 memegang paten yang digunakan oleh S2, dan S2 membayar royalti, maka negara A akan disebut sebagai negara residen yang menimbulkan hak untuk memajaki royalti. Disini kita melihat ketidakkonsistenan atas pengertian negara sumber dan residen.
  3. Jika kita melihat  Cost Contribution Arrangements (CCA),  OECD’s Transfer Pricing Guidelines (TPG) mendefinisikan CCA sebagai “a framework agreed among business enterprises to share the costs and risks of developing, producing or obtaining assets, services, or rights, and to determine the nature and extent of the interests of each participant in those assets, services, or rights.” Permasalahannya, CCA yang tunduk pada ALP sendiri menyediakan suatu mekanisme sederhana untuk menggeser laba diantara perusahaan afiliasi. 
  4. Mari kita lihat contoh pengenaan aturan USA “check-the-box”. P merupakan residen USA yang mengembangkan IP. P memiliki S1, perusahaan operasi di negara A, ETR tinggi, yang juga memiliki S2 perusahaan residen di negara tax haven  B. S2 memperoleh hak IP diluar USA melalui pembayaran  “buy-in” dan cost-sharing agreement. S2 kemudian memberikan lisensi atas IP ke S1, dengan mendapatkan imbal royalti. S1 memperoleh pengurangan atas pembayaran royalti namun S2 tidak membayarkan pajak atas royalti yang diperolehnya. Pada aturan USA atas contoh tadi, dengan  checking the box untuk S2, transaksi ini akan diabaikan untuk tujuan perpajakan USA. Hasilnya, dari perspektif pajak perusahaan USA, hanya ada satu perusahaan yaitu S1 dengan cabang di negara B, dengan transaksi antara keduanya diabaikan.


Sekarang kita membahas tentang  OECD BEPS. OECD tidak berkehendak untuk mengubah kerangka berpikir atas TP. BEPS OECD hanya menyampaikan salah satu alternatif kerangka berpikir, perumusan pembagian hak pemajakan antar negara. BEPS OECD ini menekankan pada aktivitas ekonomi, substansi relevan, aktivitas substansial dan penciptaan nilai.

Ketika pedapatan pasif dibayarkan lintas batas, maka pendapatan itu akan dipajaki pada negara yang menerima. Tidak ada aktivitas ekonomi yang dipersyaratkan. Ini tentu mengakibatkan konsep berpikir yang berbeda dibandingkan dengan konsep berpikir awal. Sebagai prinsip yang baru, OECD mengusulkan arah yang berbeda agar  passive income yang sebelumnya berdasarkan residen menjadi  “place of economic activity” basis.

Simpulannya, Sistem Perpajakan Internasional setelah BEPS ini malah menjadi kurang koheren dan tidak konsisten, dimana hak pemajakan terkadang dikaitkan pada substansi ekonomi, di kesempatan lain malah tidak menggunakan kerangka berpikir yang sama.

Mari kita lihat satu contoh, P adalah perusahaan induk dari negara A, ETR tinggi, mengoperasikan IP Box regime yang memajaki pendapatan royalti hanya sebesar 5%. S merupakan anak perusahaan P, penduduk negara B, ETR tinggi. S mengembangkan IP dan kemudian menjualnya ke P dengan harga wajar, kemudian S membayar pajak di negara B atas transfer tersebut. P memberikan lisensi atas IP itu ke T, perusahaan independen yang merupakan residen di negara C, ber-ETR tinggi pula.

T membayar royalti kepada P dan dapat membiayakannya, P membayar pajak atas royalti dengan tarif pajak rendah 5%. Sebagai hasilnya, Royalti yang telah dipajaki tinggi di negara B dimana IP dikembangkan, akan dipajaki di negara A yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Namun, jika transfer IP dikenai harga yang wajar, dimana negara B mengenakan pajak atas transfer tersebut, maka pemajakan tunggal atas IP akan terjadi.

Pendekatan OECD hanya mempertimbangkan opsi pertama dimana pemajakan pembayaran royalti di shift ke negara dengan tarif pajak lebih rendah tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya pemajakan tunggal atas transfer. Masalah utama  yang kemudian timbul adalah bagaimana meyakinkan bahwa transfer IP merupakan transaksi yang wajar. Hal ini sangat sulit untuk dibuktikan.Dalam ALP, entitas terafiliasi dianalisis dengan dipandang sebagai pihak independen.

Beberapa faktor berkontribusi pada timbulnya pendapatan termasuk keuangan, R&D, fungsi perusahaan induk, pabrikan, pemasaran dan penjualan.

Masalah yang timbul disini akibat negara A memajaki pendapatan royalti dengan tarif rendah dengan argumen bahwa aktivitas ekonomi relevan berada di negara B dimana intangible dihasilkan. Padahal negara B mungkin memutuskan untuk tidak memajaki pendapatan royalti atau memajaki dengan tarif yang sangat rendah.

Alternatif yang mungkin dapat mulai dipikirkan adalah pengenalan atas basis pemajakan yang lebih sederhana. Debat atas pajak korporasi biasanya tentang bagaimana membuat pajak yang tidak terdistorsi atas laba sehingga dapat mencapai efisiensi produksi. Sebagai contoh, basis pemajakan dapat didasarkan pada turnover, besaran harta tetap, penjualan dan biaya upah. 


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Buku Acara: Ibadah Mengenang Satu Tahun Berpulang ke Surga

Berry Ratio dan penggunaannya

BEPS Inclusive Framework, the urgency for developing countries