BUT, Subjek Pajak yang efektif?

BUT, Subjek Pajak yang efektif?

Pada bisnis global saat ini, risiko suatu perusahaan diharuskan untuk mendaftarkan diri sebagai BUT di suatu negara LN karena melakukan bisnis di tempat itu, akansemakin meningkat. Hal ini dikarenakan peningkatan transaksi lintas batas yang terjadi dan tekanan otoritas perpajakan untuk meningkatkan penerimaan pajaknya.
BUT biasanya tetap dapat didirikan meskipun tidak ada kehadiran fisik perusahaan di negara tersebut. Perusahaan pun tidak harus mendirikan bangunan ataupun tempat permanen di LN untuk mendirikan BUT.

BUT mengakibatkan perusahaan mendapat eksposur kehadiran pemajakan di LN, sehingga membuka kemungkinan untuk diawasi oleh otoritas perpajakan negara tersebut. Seringkali, konsep hal-hal yang menyebabkan timbulnya BUT merupakan hal yang tidak terlalu jelas. Hal ini terjadi karena kurangnya panduan dan interpretasi hukum yang berbeda di antara pihak yang memiliki kepentingan.

Di Prancis, jika perusahaan tidak mendirikan BUT padahal seharusnya perusahaan tersebut harus menjadi BUT, maka perusahaan itu akan digolongkan sebagai perusahaan yang melakukan tindakan kejahatan serius oleh pengadilan Prancis. Di Afrika Selatan, otoritas perpajakan melakukan penelitian rutin dan sering atas perjanjian kontrak dengan perusahaan LN dengan tujuan untuk menilai apakah ada risiko berdirinya BUT atas perusahaan LN tersebut. Di India, terdapat beberapa kasus atas atribusi laba dan BUT, sementara China baru-baru ini telah mengeluarkan panduan tambahan atas isu BUT.

Ada beberapa hal yang memungkinkan timbulnya BUT:

1.      Orang Pribadi atau expatriat;
Peningkatan mobilitas karyawan tidak hanya meningkatkan isu tentang PPh OP tapi juga meningkatkan kemungkinan karyawan tersebut menjadi BUT ditempat dia bekerja.

2.      Perusahaan DN meminta perusahaan LN untuk memberikan jasa di DN;
Perusahaan penyedia jasa biasanya menggunakan penyedia jasa lain untuk memberikan jasa dalam kerangka bisnisnya. Misalnya, sebuah perusahaan dapat melakukan kontrak dengan anak perusahaan di LN untuk melakukan jasa dukungan pemasaran di dalam negeri. BUT potensial dapat muncul dalam kasus seperti ini, dengan mempertimbangkan aktivitas yang dilakukan oleh penyedia jasa, lama aktivitas dan tempat dilakukannya penyerahan jasa.

3.      Perusahaan LN melakukan subkontrak untuk garansi kepada perusahaan lokal.
Subkontrak mengacu pada memberikan pekerjaan dan tanggungjawab ke pihak lain. Misalnya, perusahaan LN dapat melakukan subkontrak fungsi garansi kepada penyedia jasa lokal, sementara perusahaan tetap bertanggung jawab penuh secara hukum kepada konsumen. Dengan mempertimbangkan lama penyerahan jasa, BUT jasa dapat dimungkinkan untuk timbul atas perusahan LN tersebut.

Di beberapa negara termasuk Singapura, peraturan domestik tidak memberikan aturan batasan waktu tertentu untuk penentuan berdirinya BUT. Kompeksitas lain juga dapat timbul ketika mengaplikasikan time test untuk menentukan ada atau tidaknya BUT. Misalnya, pada Pasal 5 Model OECD, proyek-proyek terkait harus dipertimbangkan dan waktu yang digunakan dalam rentang waktu yang putus harus di agregasikan. Namun sulit untuk memberikan definisi proyek terkait dan bagaimana aturan untuk menjumlahkan jumlah waktu aktivitas tersebut.

Menjadi BUT berarti bahwa BUT tersebut menjadi subjek pajak yang harus menyampaikan pelaporaan perpajakan di negara tersebut. Ketika definisi BUT muncul, maka perlu untuk mengadopsi atribusi laba kepada BUT ini. BUT memang dapat menimbulkan potensi pajak berganda, karena perusahaan LN akan melaporkan penjualan di BUT pula.

Menurut saya, definisi peraturan di Indonesia dan penerapan atas BUT ini masih jauh panggang dari api. Administrasi perpajakan di KPP masih banyak yang tidak mengerti sama sekali posisi BUT dalam kewajiban perpajakan, P3B dan administrasi perpajakan lengkapnya. Coba saja kalau kita ambil data jumlah expatriat yang bekerja di Indonesia. Berapa persen dari mereka yang menjadi BUT di Indonesia? Saya malah bisa meyakinkan diri sendiri bahwa sangat sedikit ekpatriat yang bekerja di Indonesia mendaftarkan diri mereka sebagai BUT di Indonesia. Belum lagi kita membahas perusahaan-perusahaan LN yang menyerahkan barang atau jasa di Indonesia. Potensi perpajakan atas hal ini masih sangat besar.


Hal ini banyak disebabkan karena masih rancunya interpretasi atas BUT, baik yang ada di Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang harus di interpretasikan pula dengan P3B yang berlaku. Rasa-rasanya, sudah sangat diperlukan analisis yang komprehensif atas subjek pajak yang satu ini, dan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah Indonesia atas BUT ini, apakah tegas mengadministrasikan kewajiban perpajakannya? atau klemar klemer dengan alasan sulit untuk menentukan atribusi labanya?

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Buku Acara: Ibadah Mengenang Satu Tahun Berpulang ke Surga

Berry Ratio dan penggunaannya

BEPS Inclusive Framework, the urgency for developing countries