E-COMMERCE AND BEPS IN INDONESIA, HOW SHOULD WE REACT?
Base erosion and profit shifting
(“BEPS”) akhir-akhir ini sering diperbincangkan di tempat kami, sebagai bagian
yang melakukan analisis atas kebijakan perpajakan. Namun tentu, untuk sebagian
besar orang, hal ini merupakan hal yang sangat baru dan belum dipahami sepenuhnya
oleh banyak pihak. Salah satu bagian rencana kerja dari program BEPS ini adalah
dampak ekonomi digital pada penghindaran pajak dan transfer laba ke negara
dengan ETR yang lebih rendah.
What is the Digital Economy?
Tidak seperti bagian-bagian pada
ketentuan perpajakan, ekonomi digital bukan merupakan istilah yang telah didefinisikan
dalam aturan UU KUP maupun UU PPh. Ekonomi digital ini sering didefinisikan
sebagai transaksi yang dilakukan melalui internet, baik transaksi Business to Business (B2B) atau Business
to Consumer (B2C). jadi, ekonomi digital merupakan setiap transaksi yang
dilakukan melalui internet yang tidak hanya penjualan barang berwujud tapi juga
penjualan barang tidak berwujud. Dengan demikian, seluruh transaksi e-commerce merupakan bagian dari ekonomi
digital.
Perhatian atas ekonomi digital
terjadi karena banyak transaksi yang dilakukan disangkakan luput dari
perpajakan, baik dalam pajak penghasilan, maupun atas penjualannya. Namun tentu
juga karena jenis transaksi ini semakin berkembang dengan dinamis seiring
dengan perkembangan teknologi informasi. Pada pajak penghasilan, struktur pada
ekonomi digital dapat digunakan untuk menghindari pembayaran PPh karena sifat
dari transaksi e-commerce yang sulit untuk di deteksi.
Menyelesaikan isu perpajakan atas
ekonomi digital ini merupakan action plan
BEPS no.1, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan utama
yang dimiliki oleh ekonomi digital jika aturan perpajakan internasional yang
akan dihasilkan dapat diterapkan. Pendekatan yang dilakukan secara menyeluruh,
baik atas pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Ada beberapa alternatif solusi
yang dipikirkan untuk menyelesaikan isu perpajakan atas transaksi e-commerce
lintas batas ini, salah satunya adalah dengan klausul BUT atau PE atas
perusahaan yang menjual barang dagangannya secara elektronik di Indonesia.
Untuk hal ini, perlu dipertimbangkan, dalam keadaan bagaimana sebuah negara
dapat melakukan klaim atas business
profit (akan dijelaskan di lain post)
dan bagaimana menentukan alokasi laba usaha yang layak untuk negara sumber.
Administrasi perpajakan dipandang
perlu untuk berlaku netral atas transaksi e-commerce, dalam arti tidak berbeda
administrasinya dengan transaksi konvensional. Selain itu, pemikiran ekonomis
yang perlu diperhatikan dalam analisis ini adalah, pertimbangan bisnis harus
lebih didasarkan pada keputusan ekonomi daripada keputusan perpajakan.
Sebagai salah satu pilihan,
pemajakan dengan menerbitkan syarat batasan BUT yang baru dengan mempertimbangkan
konsep Transfer Pricing dengan mempertimbangkan penggunaan internet protocol (IP). Hal ini akan menghadapi tantangan atas
perpindahan konsep dari kehadiran fisikal menjadi kehadiran ekonomis,
perpindahan konsep alokasi penerimaan perpajakan dari basis produksi menjadi basis
konsumsi dan kesulitan adaptasi konsep pengukuran laba BUT menjadi konsep
penciptaan nilai.
Berikut adalah beberapa
kemungkinan yang digunakan jika menggunakan BUT untuk memajaki e-commerce:
Cara
Pemajakan
|
Konsep
|
Perhatian
|
BUT Tempat Melakukan Bisnis Virtual
|
Penetapan BUT atas adanya situs internet pada
server perusahaan lain yang berlokasi di negara sumber dan melakukan
aktivitas bisnis melalui web-site dimaksud. Tempat bisnis adalah situs
jaringan itu sendiri.
|
Kriteria lokasi server pada negara sumber tidak
langsung mengurangi kemungkinan penghindaran pajak yang akan dilakukan
perusahaan
|
Agent BUT Virtual
|
Mendefinisikan web-site sebagai dependent
agent PE dimana kontrak biasanya dilakukan antara perusahaan dengan orang
yang berada pada negara sumber
|
Lebih fleksibel daripada opsi pertama dengan
masalah yang kurang lebih sama
|
BUT untuk On-Site Business
|
Keberadaan ekonomik atas perusahaan di suatu
negara, dimana perusahaan tersebut menyediakan jasa atau usaha lainnya.
Batasan kualitatif dan kuantitatif harus ditentukan
|
Unggul dalam hal fleksibilitas namun dapat kurang
efektif dalam penerapan rentang harga wajar.
|
BUT dengan proksi Akses Pasar
|
Keberadaan ekonomis pada suatu yurisdiksi
bergantung pada akses yang cukup ke pasar negara sumber. Akses yang cukup ini
dapat diindikasikan dengan volume penjualan atau tingkat data yang dikirimkan
|
Fleksibel dan simpel, tapi efektivitas,
neutralitas, dan konsistensi perlu dipertanyakan atas pendekatan
permintaan-penawaran di negara sumber.
|
Aturan perpajakan yang dapat
diterapkan pada transaksi e-commerce harus
dinamis dan memperhatikan perubahan cepat pada ekonomi digital. Memang, pada
pengertian mendasar, tidak ada perbedaan pemajakan antara transaksi
konvensional dan transaksi e-commerce. Pengaturan yang perlu diperhatikan justru
untuk pengawasan terhadap kemungkinan penghindaran perpajakan pada mekanisme
transaksi elektronik itu sendiri.
Pada seminar yang disampaikan
seorang profesor yang terlibat langsung pada pembahasan BEPS OECD beberapa hari
yang lalu, terselip keraguan akan ada tindak lanjut dalam rencana kerja pertama
BEPS OECD ini. Beliau menyampaikan bahwa tindak lanjut pengawasan atas
transaksi e-commerce ini sangat
sulit, terutama dalam penentuan atribusi pendapatan untuk negara sumber. Saya
sendiri berpendapat bahwa berlanjut atau tidaknya rencana kerja pertama BEPS
ini tergantung pada kepentingan orang-orang yang memikirkannya. Akankan
perwakilan negara-negara sumber dapat bersuara untuk memperoleh dan
memperjuangkan jawaban logis dari first
BEPS action plans ini? Mari kita tetap memperhatikan kelanjutannya saja.
Comments
Post a Comment