PENERAPAN BERRY RATIO DALAM ANALISIS TP
Metode ini pertama kali dirumuskan oleh Prof Universitas Princeton, Mr. Charles Berry, saat IRS meminta pendapatnya dalam penyelesaian kasus DuPont. Kasus ini menyangkut besaran marjin yang diperoleh distributor anak perusahaan yang dimiliki seluruhnya oleh DuPont. Penerapan Berry Ratio dalam analisis TP merupakan variasi dari metode cost-plus. Secara konsep, Berry Ratio menunjukkan tingkat pengembalian dari fungsi nilai tambah suatu perusahaan dan mengasumsikan bahwa seluruh fungsi tersebut dicerminkan oleh beban operasi. Berry Ratio menjadi pengukuran berguna untuk aktivitas distributor.
Berikut kira-kira kasus DuPont:
- DuPont mendirikan perusahaan baru dengan kepemilikan saham penuh di Swiss (DISA), yang berfungsi sebagai "Super Distributor";
- Fungsi yang dilakukan DISA termasuk pemasaran dan periklanan di Eropa untuk membangun kehadiran DuPont di Eropa, termasuk fungsi distribusi untuk membeli kemudian menjual produk ke afiliasi lain di Eropa;
- DISA diberikan marjin sekitar 20% dari harga jual atas produk yang dibeli dari DuPont, marjin ini dinilai terlalu tinggi oleh IRS dan IRS meminta pendapat Prof. Charles Berry atas kasus ini;
- Berry mengkarakterisasi DISA sebagai penyedia jasa berupa market research dan konsultan manajemen, advertiser dan distributor. Dengan alasan ini, Berry melakukan analisis lanjutan atas penyedia jasa yang sama yang dilakukan oleh pihak independen;
- Atas analisis yang melibatkan market research dan konsultan manajemen, Berry membandingkan GP/OE DISA dibandingkan dengan Total Income/Total Costs konsultan. Atas analisis yang melibatkan advertiser, GP/OE DISA dibandingkan dengan Billed Commissions/Total Operating Costs. Atas distributor, GP/OE DISA dibandingkan dengan (GP-Extraneous income)/Operating Cost;
- Analisis Berry menyimpulkan bahwa dengan menimbang mark-up on cost yang dilakukan oleh konsultan, agen iklan atau independen distributo, margin yang diberikan kepada DISA secara signifikan lebih tinggi dari pertimbangan nilai wajar.
Berikut beberapa pertimbangan dalam penggunaan Berry Ratio dalam analisis Transfer Pricing:
- BR merupakan varian dari Metode Cost-Plus. BR merupakan indikator tingkat pengembalian fungsi nilai tambah perusahaan dan mengasumsikan nilai tambah dimaksud berada di operating expenses.
- Distributor yang mengalami keuntungan akan menunjukkan BR lebih dari 1 dalam unit, atau lebih dari 100%.
- Meskipun BR secara konsep merupakan pengukuran tingkat laba yang sederhana, namun metode ini merupakan metode yang paling sering salah dalam penggunaannya dalam analisis TP. BR tidak dapat digunakan pada distributor terintegrasi (yang juga melakukan fungsi manufaktur) karena BR tidak akan dapat menangkap tingkat pengembalian dari fungsi manufaktur yang dilakukan.
- Pada dasarnya, BR paling tepat digunakan pada distributor rutin, dan hanya dapat dibandingkan dengan pembanding independen yang memiliki tingkat komparabilitas fungsional yang tinggi. Riset menunjukkan ternyata ada distributor yang memiliki intensitas beban operasi yang tinggi sedangkan ada juga distributor rutin yang memiliki intensitasi beban operasi yang secara signifikan lebih tinggi.
- Jika dimungkinkan, lebih baik menggunakan lebih dari satu PLI untuk melakukan analisis TP yang lebih tepat untuk memperkuat analisis primer.
Saat evaluasi distributor, dimana
GP sebagai pembilang dan OE sebagai penyebut, distributor yang memiliki
keuntungan akan menunjukkan berry ratio lebih besar dari satu. Jika tidak
demikian atau berry ratio kurang dari satu, maka dapat diindikasikan bahwa
terdapat beban operasi yang berlebihan yang perlu di telaah dalam jangka
panjang.
Seperti disinggung sebelumnya,
Berry Ratio dapat juga diterapkan untuk penyedia jasa. Secara konsep, Berry
Ratio merupakan metode pengukuran profitabilitas yang sederhana, namun rasio
ini merupakan salah satu rasio yang paling sering disalahgunakan. Nanti akan saya coba intisarikan penggunaan dan penyalahgunaan rasio ini dalam analisis TP yang pernah terjadi.
Kesalahan
dalam penerapan biasanya terjadi karena gagal dalam memahami bahwa Berry Ratio
didasarkan bahwa terdapat konsistensi antara GM dengan OE. Konsistensi ini baru
dapat muncul hanya jika seluruh OE mewakili seluruh nilai tambah yang dilakukan
oleh distributor.
Berry Ratio tidak dapat digunakan
untuk distributor terintegrasi (yaitu distributor yang melakukan fungsi
manufacturing) karena Berry Ratio tidak dapat mewakili pengembalian tambahan
atas fungsi manufaktur. Jadi, saat aplikasi Berry Ratio untuk mengevaluasi
distributor, seharusnya hanya digunakan untuk distributor yang hanya melakukan
fungsi distributor rutin.
Oleh karena itu, perlu
diperhatikan bahwa beberapa studi empiris menunjukkan bahwa distributor dengan intensitas beban operasi yang sangat rendah,
menunjukkan berry ratio yang sangat tinggi. Masalah ini dapat diatasi dengan
memastikan bahwa hanya distributor yang memiliki beban SGA yang sama dan
relevan yang dapat digunakan sebagai pembanding.
Jadi, menggunakan Berry Ratio
sebagai PLI, tidak cukup hanya menguji analisis FAR distributor atau penyedia
jasa namun perlu memperhatikan apakah nilai tambah yang dilakukan hanya ada di beban operasi? dan tingkat intensitas fungsi yang dilakukan.
Kemudian pada tahun 1999, Charles H. Berry kembali menyampaikan perlunya perhatian dalam penggunaan metode BR ini dengan menyampaikan bahwa penggunaan metode BR ataupun metode TP lainnya harus dipandu oleh karakter khusus pasar yang digunakan dan akhirnya harus diuji dengan dampak yang konsisten dengan standar wajar. BR ditekankan kembali merupakan varian dari metode CP. CPM pada awal konsepsi merupakan cara untuk estimasi kewajaran manufakturer yang memproduksi dan menjual produk. Misalnya, perusahaan yang memasukkan obat yang telah diracik ke kapsul untuk dijual ke induk, prosedur yang tepat bukanlah menganalisis harga wajar atas produk unik obat tersebut, melainkan berapa harga wajar untuk jasa pengapsulan. Namun, tingkat kesebandingan perusahaan jasa akan diukur dengan besaran biaya langsung perusahaan dalam menyediakan jasa dimaksud.
Jadi, hal yang menjadi sangat penting adalah ukuran tingkat intensitas jasa yang dilakukan dan ini menjadi indikasi awal bagaimana BR sering salah dalam penerapannya yang dapat diringkas sebagai berikut:
- BR tidak dapat digunakan pada perusahaan yang selain melakukan fungsi distribusi, juga melakukan fungsi lainnya seperti juga melakukan fungsi manufaktur;
- Perbedaan perlakukan akuntansi antara tested party dan perusahaan pembanding dapat mengakibatkan hasil analisis yang kurang tepat (klasifikasi beban operasi menjadi HPP);
- BR bukan merupakan ukuran yang berguna jika digunakan untuk perusahaan yang juga melakukan fungsi manufaktur atau bahkan distributor yang mengubah barang yang dibeli untuk dijual kembali dan mengeluarkan biaya yang signifikan dalam melakukannya.
I m glad ..finally find this blog..ijin kami pakai beberapa bahan untuk pengayaan argumentasi ya Bang Fred..GBU..
ReplyDelete